Cinta Kasih dan Fenomena Sosial

Posted by


DEGRADASI DAN KRISIS CINTA KASIH SEBAGAI PENYEBAB TIMBULNYA BERBAGAI 
KEJAHATAN SOSIAL
(Perspektif Filsafat Cinta)
Oleh : I Ketut Donder



Pengantar Admin
Artikel ini adalah bahan Dharma Wacana yang disampaikan oleh Bapak Ketut Donder pada Tahun 2007 ketika mengikuti salah satu Lomba Dharma Wacana. Admin sangat beruntung masih memiliki arsip tulisan tangan beliau dan dengan senang hati berbagi untuk anda. Semoga bermanfaat.



ABSTRAK
Teologi dan filsafat Hindu menjelaskan bahwa manusia merupakan gambaran Tuhan itu sendiri. Karena manusia merupakan gambaran Tuhan, maka manusia merupakan wujud paripurna dari seluruh ciptaan sehingga kepada manusia dilekatkan predikat sebagai mahluk paling mulia. Kemuliaan manusia selain diperoleh karena manusia sebagai gambaran Tuhan, juga kemuliaannya dapat dirunut melalui kronologi keberadaannya di atas planet bumi ini. Teologi Hindu yang terjabarkan dalam susastra seperti Itihasa, Purana, Upanisad, Kosmologi Hindu, dan susastra lain menyatakan bahwa setelah dunia ini diciptakan maka Tuhan menjelmakan dirinya menjadi ”Manusia Pertama” yang disebut Brahma, Swayambhu Manu, Prajapai, atau apapun nama-Nya. Apapun nama-Nya yang ditulis dalam berbagai kitab suci, yang jelas sesungguhnya adalah satu demikian uraian Upanisad-Upanisad. 
Berdasarkan uraian di atas maka Tuhan adalah leluhur manusia. Tuhan sebagai leluhur manusia mewariskan sifat-sifat pengasih, penyayang, pengasih, namun kenapa manusia semakin semakin jauh dari sifat-sifat keketuhanan yang mulia itu. Mengapa manusia mengalami degradasi, krisis, dan devisit cinta kasih?. Mengapa manusia seolah-olah tidak beradab dan tidak punya rasa belas kasih, tidak memiliki cinta kasih sehingga mampu membantai sesamanya. Mengapa manusia telah terperosok kepada perbuatan yang melampaui tindakan hewani. Itulah beberapa pertanyaan yang tidak mudah untuk dijawab. Walaupun demikian sulit pertanyaan tersebut namun konsep Catur Yga dalam ajaran Hindu mampu menjawab pertanyaan tersebut. Konsep Catur Yuga menegaskan bahwa apapun yang diciptakan akan mengalami proses evolusi (perubahan secara perlahan berdasarkan kehendak sang waktu). Apa yang datang pada suatu waktu akan pergi dan apa yang pergi pada suatu saat akan datang lagi, demikian juga cinta kasih yang mulai memudar di dalam hati manusia akan datang kembali jika sangkar cinta kasihyang ada dalam hati manusia terbuka. 
Hanya apabila manusia hidup dengan penuh rasa cinta kasih sayang, maka kepadanya layak disebut sebagai mahluk mulia. Oleh sebab itu agar kedudukan manusia sebagai mahluk paling mulia tidak digugat oleh mahluk lain, maka marilah seluruh manusia membuat proyek-proyek kemanusiaan dalam konstruksi cinta kasih. Dunia ini akan indah dipandang jika disangga oleh tiang-tiang cinta kasih.             

Kata Kunci : Sifat cinta kasih adalah arakter asli manusia sebagai penyangga bumi ini 

I.  PENDAHULUAN
Terima kasih saya sampaikan kepada pembawa acara yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk menyampaikan materi dharmawacana. Pada kesempatan lomba ini saya membawakan dharma wacana dengan induk judul ”CINTA KASIH” dan kemudian saya jabarkan menjadi anak judul; DEGRADASI DAN KRISIS CINTA KASIH SEBAGAI PENYEBAB TIMBULNYA BERBAGAI KEJAHATAN SOSIAL. Mengapa saya memilih judul ini sebagai judul dharma wacana saya? Alasannya adalah; bahwa pada era mordernisasi dan globalisasi saat ini, manusia semakin lama semakin dilanda oleh degradasi atau penurunan kualitas ”cinta kasih” hingga sampai pada level ”krisis cinta kasih”. Alasan rasional untuk menyatakan bahwa era globalisasi ini sebagai era degradasi dan krisis cinta kasih adalah merebaknya berbagai tindak kejahatan kemanusiaan di mana-mana di seluruh dunia sebagaimana kita dapat saksikan pada pemberitaan mass media atau secara langsung. Itulah sebabnya saya memilih judul ini dari beberapa tema atau judul yang disediakan atau ditawarkan oleh Panitia Lomba   


II.  PEMBAHASAN  
Bapak/Ibu saudara-saudara umat sedharma yang saya cintai, sekarang ini kita hidup pada abad supra modern yang sering disebut abad Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK). Paling tidak itulah yang sangat sering kita dengar dari berbagai pihak yang memberi penilaian terhadap zaman ini. Modern dan modernisasi telah mejadi ungkapan dan kalimat-kalimat yang sangat lancar atau pasih digunakan oleh masyarakat. Itulah kenyataan hidup kita sekarang ini, semua fasilitas kehidupan telah tersedia. Semua kebutuhan manusia seolah dapat dipenuhi oleh hasil teknologi. Untuk pemenuhan itu kata  kuncinya adalah”uang”!. Siapa saja yang dapat mengumpulkan uang sebanyak mungkin, maka ia akan dapat menikmati hidupnya secara aman dan nyaman (yang secara salah kapra disebut bahagia). Mengapa saya katakan salah kaprah?, Karena ukuran kebahagiaan bukanlah semata-mata pada ukuran “aman-nyaman” yang bersumber pada uang, tetapi bahagia dan kebahagiaan lebih dari sekadar itu.  
Hidup aman-nyaman memang telah menjadi obsesi setiap orang, semua orang ingin hidup aman dan nyaman. Mereka juga tahu bahwa untuk meraih kehidupan yang aman dan nyaman saat ini membutuhkan uang. Oleh karena itu “uang” telah menjadi “tuhan” dewasa ini. Karena uang telah menjadi “tuhan” dewasa ini, maka muncul agama baru dalam pemujaan “tuhan” yaitu apa yang disebut dengan “agama pasar”. Setiap orang ingin memuja “tuhan” dengan “uang” di “pasar”. Demikian sindiran para ilmuwan Sosiologi setelah melihat paradigma perubahan sosial dewasa ini yang tidak pernah diramalkan oleh para Sosiolog. Para ilmuwan Barat demikian kagetnya melihat realitas perubahan sosial yang berada di luar dugaan, namun ajaran Hindu jauh sebelumnya telah memprediksikan bahwa “suatu saat dunia manusia akan dilanda oleh degradasi moral dengan ditandai oleh krisis dan devisit cinta kasih di antara sesama manusia.    
Hasrat ingin memiliki uang sebanyak mungkin telah menjadi motif kehidupan umat manusia dewasa ini. Banyak orang dewasa ini dapat melakukan perbuatan apa saja demi uang! Demi uang; seorang bisa berbuat adharama seperti mencuri, melacurkan diri, atau membunuh sesamanya. Demi uang, tak terhitung jumlahnya manusia telah melakukan perbuatan yang selevel dengan perbuatan binatang. Eronis, antagonistik, dan tragis, menyaksikan manusia yang disebut sebagai mahluk paling mulia namun realitasnya banyak perbuatan manusia melebihi perbuatan binatang. Di era IPTEK atau Postmodern ini yang oleh agama Hindu disebut sebagai era Kaliyuga, kemuliaan manusia mulai dipertanyakan. 
Umat sedharma yang saya cintai, kemuliaan manusia sesungguhnya diukur dari “kadar cinta kasih sayangnya” terhadap sesama. Bahkan lebih dari itu bahwa kadar cinta kasih sayang yang dimiliki oleh manusia seharus memancar atau menyebar merata kepada seluruh ciptaan baik terhadap sesama manusia, hewan, dan juga tumbuh-tumbuhan bahkan hingga kepada benda-benda mati. Cinta kasih sayang yang meluas secara universal inilah yang menjadikan manusia sebagai mahluk paling mulia di muka bumi. Ada banyak rumusan dalam kitab suci Weda tentang apa-apa yang patut dilakukan oleh manusia berdasar konsep cinta kasih yang universal tersebut, sebagaiman dinyatakan dalam sloka kitab suci Bhagavadgita XII.13
Advesthā sarva bhūtānām maitrah karuna eva cha
Nirmamo nirahamkārah sama duhkha sukhah kshami 

‘Dia yang tidak menyakiti semua mahluk (Advesthā sarva bhūtānām), yang memiliki sikap bersahabat (maitrah), cinta kasih (karuna) kepada siapa saja, ramah-tamah (nirmamo) kepada semua orang, bebas dari egoisme dan keangkuhan (nirahamkārah), memandang sama antara suka dan duka rela atau tulus ikhlas memaafkan kesalahan orang lain (sama duhkha sukhah kshami)’ dia itulah yang pantas disebut sebagai manusia yang mulia.      

Umat sedharma yang saya cintai, rumusan sloka Bhagavadgita XII.13 di atas jika kita simak maknanya secara saksama, maka pantaslah jika banyak orang yang telah melihat, merasakan, dan menjalankan kebenaran; mencemaskan kehidupan umat manusia dewasa ini. Karena di era globalisasi yang materialistis ini, sifat-sifat manusia semakin bergeser dari rumusan-rumusan kitab suci. Misal;  
(1) demi beberapa lembar rupiah, seseorang tega menyakiti sesamanya yang tidak bersalah, 
(2) demi beberapa lembar rupiah, seseorang tega menghianati komitmen persahabatan yang telah dijalin puluhan tahun, 
(3) demi uang, seseorang tega menghianati cinta yang telah lama dibina, 
(4) demi uang, seseorang hilang sikap keramah-tamahannya, 
(5) karena merasa telah banyak memiliki uang, seseorang mulai menampakkan keakuan dan keangkuhannya (egonya), 
(6) karena uang, seseorang tidak lagi memandang orang lain sama dengan dirinya. 
Uanglah, merupakan sumber degredasi, krisis, dan devisit cinta kasih yang dialami oleh manusia dewasa ini. Padahal sikap dan sifat cinta kasih merupakan ciri dan karakter asli manusia yang sesungguhnya. Karena sifat cinta kasih itulah sesungguhnya manusia layak mendapat predikat sebagai mahluk yang paling mulia. 

Umat sedharma yang saya cintai, menyadari kondisi seperti ini, maka manusia secara bersama-sama semestinya berupaya untuk menegakkan prinsip-prinsip dharma. Manusia tidak boleh larut dalam buaian era Kaliyuga. Ada banyak latihan spiritual yang dapat menghantar atau mengembalikan manusia kehabitatnya sebagai mahluk yang mulia. Ada banyak program yang dapat membantu upaya spiritual demi mengangkat jiwa kita, misalnya; 
(1) belajar mengurangi berbicara (belajar diam, atau tidak cerewet),
 (2) belajar untuk menghindari pertengkaran (menguasai diri), 
(3) belajar mengatur pola makan, pola tidur, pola bergaul, 
(4) belajar mendekati orang-orang baik dan orang berpengetahuan, 
(5) belajar menjauhi persahabatan dengan orang-orang yang tidak baik, 
(6) dll. 
Semua itu merupakan latihan spiritual yang menghantarkan manusia setapak demi setapak untuk mengembalikan kadar “cinta kasih” yang semakin menipis di hati manusia. Oleh sebab itu, marilah kita buka mata, buka telingan, buka pikiran kita bahwa manusia sudah sepantasnya melangkah ke jalan spiritual melalui aktivitas-aktivitas yang mulia. Jangan di antara kita ada yang menertawai teman-teman kita yang tekun belajar agama dan spiritual. Sebaliknya mari kita berpikir jernih, memiliki uang atau materi sebanyak-banyaknya bukan merupakan tujuan dari kelahiran manusia kedunia. Uang dan materi hanya sebatas alat untuk mencapai kebebasan abadi, janganlah kita mendewa-dewakan apalagi men-Tuhan-kan uang. Mari kita renungkan kembali ajaran Catur Purusa artha, yaitu; dharma, artha, kama, moksa. Berdasarkan letak urutannya saja sudah dapat dilihat maknanya bahwa ”dharma” adalah awal dari langkah manusia dan ”moksa” adalah akhir dari perjalanan manusia. Sedangkan artha dan kama berada di tengah-tengahnya, karena berada di tengah-tengahnya, maka artha dan kama adalah alat dari dharma untuk mencapai moksa. Hanya dengan menyadari secara mendalam bahwa ”artha” atau ”uang” bukan segala-galanya apalagi sebagai tujuan akhir, maka kejahatan sosial akan menurun intensitasnya yang secara langsung akan berpengaruh pada meningkatnya kualitas cinta kasih.              


III.  PENUTUP
Bapak dan ibu umat sedharma yang saya cintai, sebagai penutup dharma wacana ini saya dapat simpulkan, bahwa; umat manusia saat ini sedang dilanda oleh degradasi atau penurunan kualitas cinta kasih, krisis cinta kasih, dan devisit atau kekurangan stok cinta kasih di dalam hatinya. Kurangnya kadar cinta kasih dalam hati manusia menyebabkan terjadinya berbagai kejahatan sosial di dalam masyarakat. Kejahatan apapun bentuknya tidak dapat kita biarkan. Oleh sebab itu marilah kita bersama-sama memerangi kejahatan sosial dengan cara menegakkan dharma melalui pendalam ajaran agama secara lebih serius dan lebih mantap agar kita dapat hidup berdampingan dengan cinta kasih. 
Om Santih Santih Santih 






Blog, Updated at: 9:42 PM

0 comments:

Post a Comment